Laman

Jumat, 18 Juni 2010

Emoticon Tersembunyi di Yahoo Messenger (YM)


Di bawah beberapa list dari Hidden Icon YM , Mudah-mudahan berguna. Enjoy yach...... ;)

anak anjing:o3anak anjing
saya tidak tahu:-??saya tidak tahu
tidak mau dengar%-(tidak mau dengar
babi:@)babi
sapi3:-Osapi
monyet:(|)monyet
ayam~:>ayam
bunga mawar@};-bunga mawar
daun%%-daun
bendera**==bendera
labu(~~)labu
kopi~O)kopi


cerewet:-@cerewet
salut^:)^salut
ah bisa aja:-jah bisa aja
bintang(*)bintang
hiroo->hiro
billyo=>billy
aprilo-+april
yin yang(%)yin yang
lebah:bzlebah
transformer*[..]transformer*
tengkorak8-Xtengkorak
serangga=:)serangga
alien>-)alien
frustasi:-Lfrustasi
berdoa[-O<berdoa
mata duitan$-)mata duitan
bersiul:-"bersiul
babak belurb-(babak belur
damai:)>-damai
nggak boleh[-Xnggak boleh
menari\:D/menari
siapa takut>:/siapa takut
hi..hi..hi;))hi..hi..hi



ide cemerlang*-:)ide cemerlang

Bioetanol

1.      Abstrak
Ethanol atau etil alkohol C2H5OH, merupakan cairan yang tidak berwarna, larut dalam air, eter, aseton, benzene, dan semua pelarut organik, serta memiliki bau khas alkohol. Salah satu pembuatan ethanol yang paling terkenal adalah fermentasi.Bioethanol dapat diperoleh salah satunya dengan cara memfermentasi singkong.
            Alkohol merupakan bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang
mengandung pati seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu biasanya disebut dengan bioethanol. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan tanaman pangan yang biasa ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bioethanol atau gasohol.

2.      Pendahuluan

Seiring dengan menipisnya cadangan energi BBM, jagung menjadi alternatif yang penting sebagai bahan baku pembuatan ethanol (bahan pencampur BBM). Karenanya, kebutuhan terhadap komoditas ini pada masa mendatang diperkirakan mengalami peningkatan yang signifikan.Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme.
Namun dari semua jenis tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang setiap hektarnya paling tinggi dapat memproduksi ethanol. Selain itu pertimbangan pemakaian ubi kayu sebagai bahan baku proses produksi bio-ethanol juga didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Pertimbangan keekonomian pengadaan bahan baku tersebut bukan saja meliputi harga produksi tanaman sebagai bahan baku, tetapi juga meliputi biaya pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan biaya bahan baku untuk memproduksi setiap liter ethanol/bio-ethanol.
Secara umum ethanol/bio-ethanol dapat digunakan sebagai bahan baku industri
turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, campuran bahan bakar untuk kendaraan.
Mengingat pemanfaatan ethanol/bio-ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol/bio-ethanol yang mempunyai grade 90-96,5% vol dapat digunakan pada industri, sedangkan ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 96-99,5% vol dapat digunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% vol. Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.

3.      Metodologi
Singkong diolah menjadi bioetanol, pengganti premium. singkong salah satu sumber pati. Pati senyawa karbohidrat kompleks. Sebelum difermentasi, pati diubah menjadi glukosa, karbohidrat yang lebih sederhana. Untuk mengurai pati, perlu bantuan cendawan Aspergillus sp. Cendawan itu menghasilkan enzim alfamilase dan gliikoamilase yang berperan mengurai pati menjadi glukosa alias gula sederhana. Setelah menjadi gula, bam difermentasi menjadi etanol.
Produksi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan bahan baku tanaman yang  mengandung pati atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.
Konversi bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat dan tetes menjadi bio-ethanol.
Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzyme. Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat ini hydrolisa enzyme lebih banyak dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam (misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan hydrolisa enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi. Reaksi yang terjadi pada proses produksi ethanol/bio-ethanol secara sederhana ditujukkan pada reaksi 1 dan 2.
H2O
(C6H10O5)----------------> N C6H12O6 (2)
Enzyme
(pati)                                    (glukosa)

(C6H12O6)n---------------> 2 C2H5OH + 2 CO2. (3) 
yeast (ragi)
(glukosa)                                (ethanol)

Selain ethanol/bio-ethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan tanaman
yang mengandung selulosa, namun dengan adanya lignin mengakibatkan proses
penggulaannya menjadi lebih sulit, sehingga pembuatan ethanol/bio-ethanol dari
selulosa tidak perlu direkomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bioethanol merupakan teknik yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu dilakukan.
Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu gelatinasi, sakharifikasi, dan fermentasi.

Hasil dan Pembahasan
Teknologi proses produksi ethanol/bio-ethanol tersebut dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu:
a.       Proses Glatinasi
Dalam proses gelatinasi, bahan baku ubi kayu, ubi jalar, atau jagung dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur, yang diperkirakan mengandung pati 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Proses gelatinasi tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
·          Bubur pati dipanaskan sampai 130oC selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai mencapai temperature 95oC yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar ¼ jam. Temperatur 95oC tersebut dipertahankan selama sekitar 1 ¼ jam, sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2 jam.

·          Bubur pati ditambah enzyme termamyl dipanaskan langsung sampai mencapai temperatur 130oC selama 2 jam.

Gelatinasi cara pertama, yaitu cara pemanasan bertahap mempunyai keuntungan, yaitu pada suhu 95oC aktifitas termamyl merupakan yang paling tinggi, sehingga mengakibatkan yeast atau ragi cepat aktif. Pemanasan dengan suhu tinggi (130oC) pada cara pertama ini dimaksudkan untuk memecah granula pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air enzyme. Perlakuan pada suhu tinggi tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak mudah terkontaminasi.
Gelatinasi cara kedua, yaitu cara pemanasan langsung (gelatinasi dengan
enzyme termamyl) pada temperature 130oC menghasilkan hasil yang kurang baik, karena mengurangi aktifitas yeast. Hal tersebut disebabkan gelatinasi dengan enzyme pada suhu 130oC akan terbentuk tri-phenyl-furane yang mempunyai sifat racun terhadap yeast. Gelatinasi pada suhu tinggi tersebut juga akan berpengaruh terhadap penurunan aktifitas termamyl, karena aktifitas termamyl akan semakin menurun setelah melewati suhu 95oC. Selain itu, tingginya temperature tersebut juga akan mengakibatkan half life dari termamyl semakin pendek, sebagai contoh pada temperature 93oC, half life dari termamyl adalah 1500 menit, sedangkan pada temperature 107oC, half life termamyl tersebut adalah 40 menit (Wasito, 1981).
Hasil gelatinasi dari ke dua cara tersebut didinginkan sampai mencapai 55o C, kemudian ditambah SAN untuk proses sakharifikasi dan selanjutnya
difermentasikan dengan menggunakan yeast (ragi) Saccharomyzes ceraviseze.

b.      Fermentasi
Proses fermentasi dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi ethanol/bio-ethanol (alkohol) dengan menggunakan yeast. Alkohol yang diperoleh dari proses fermentasi ini, biasanya alkohol dengan kadar 8 sampai 10 persen volume. Sementara itu, bila fermentasi tersebut digunakan bahan baku gula (molases), proses pembuatan ethanol dapat lebih cepat. Pembuatan ethanol dari molases tersebut juga mempunyai keuntungan lain, yaitu memerlukan bak fermentasi yang lebih kecil. Ethanol yang dihasilkan proses fermentasi tersebut perlu ditingkatkan kualitasnya dengan membersihkannya dari zat-zat yang tidak diperlukan. Alkohol yang dihasilkan dari proses fermentasi biasanya masih mengandung gasgas antara lain CO2 (yang ditimbulkan dari pengubahan glucose menjadi ethanol/bio-ethanol) dan aldehyde yang perlu dibersihkan. Gas CO2 pada hasil fermentasi tersebut biasanya mencapai 35 persen volume, sehingga untuk memperoleh ethanol/bio-ethanol yang berkualitas baik, ethanol/bio-ethanol tersebut harus dibersihkan dari gas tersebut. Proses pembersihan (washing) CO2 dilakukan dengan menyaring ethanol/bio-ethanol yang terikat oleh CO2, sehingga dapat diperoleh ethanol/bio-ethanol yang bersih dari gas CO2). Kadar ethanol/bio-ethanol yang dihasilkan dari proses fermentasi, biasanya hanya mencapai 8 sampai 10 persen saja, sehingga untuk memperoleh ethanol yang berkadar alkohol 95 persen diperlukan proses lainnya, yaitu proses distilasi. Proses distilasi dilaksanakan melalui dua tingkat, yaitu tingkat pertama dengan beer column dan tingkat kedua dengan rectifying column.
Definisi kadar alkohol atau ethanol/bio-ethanol dalam % (persen) volume adalah “volume ethanol pada temperatur 15oC yang terkandung dalam 100 satuan volume larutan ethanol pada temperatur tertentu (pengukuran).“
Pada umumnya hasil fermentasi adalah bio-ethanol atau alkohol yang mempunyai kemurnian sekitar 30 – 40% dan belum dpat dikategorikan sebagai fuel based ethanol. Agar dapat mencapai kemurnian diatas 95% , maka lakohol hasil fermentasi harus melalui proses destilasi.

c.       Distilasi
Sebagaimana disebutkan diatas, untuk memurnikan bioetanol menjadi berkadar lebih dari 95% agar dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, alkohol hasil fermentasi yang mempunyai kemurnian sekitar 40% tadi harus melewati proses destilasi untuk memisahkan alkohol dengan air dengan memperhitungkan perbedaan titik didih kedua bahan tersebut yang kemudian diembunkan kembali.

@      Kesimpulan

Ø  Alkohol/bio-ethanol dapat diproduksi dari tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat, dilakukan melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Proses pembuatan glukosa dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa asam dan Hydrolisa enzyme. Selanjutnya dilakukan proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan yeast atau ragi.
Ø  Mengingat pemanfaatan ethanol/bio-ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol/bio-ethanol yang mempunyai grade 90-96,5% vol dapat digunakan pada industri, sedangkan ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 96-99,5% vol dapat digunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% vol. Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.
Ø  Keekonomian program pemanfaatan ethanol/bio-ethanol untuk bahan bakar kendaraan bukan saja ditentukan oleh harga bahan bakar premium saja, tetapi ditentukan pula oleh harga bahan baku pembuatan ethanol/bio-ethanol, oleh karenanya produksi ethanol/bioethanol harus mempertimbangkan keekonomiannya dari dua sisi kepentingan, yaitu sisi produsen ethanol/bio-ethanol dan dari segi petani penghasil bahan baku.


Peranan Bioteknologi Dalam Bidang pertanian

Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa.
Bioteknologi secara sederhana sudah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sebagai contoh, di bidang teknologi pangan adalah pembuatan bir, roti, maupun keju yang sudah dikenal sejak abad ke-19, pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas-varietas baru di bidang pertanian, serta pemuliaan dan reproduksi hewan. Di bidang medis, penerapan bioteknologi di masa lalu dibuktikan antara lain dengan penemuan vaksin, antibiotik, dan insulin walaupun masih dalam jumlah yang terbatas akibat proses fermentasi yang tidak sempurna. Perubahan signifikan terjadi setelah penemuan bioreaktor oleh Louis Pasteur. Dengan alat ini, produksi antibiotik maupun vaksin dapat dilakukan secara massal.
Pada masa ini, bioteknologi berkembang sangat pesat, terutama di negara negara maju. Kemajuan ini ditandai dengan ditemukannya berbagai macam teknologi semisal rekayasa genetika, kultur jaringan, DNA rekombinan, pengembangbiakan sel induk, kloning, dan lain-lain. Teknologi ini memungkinkan kita untuk memperoleh penyembuhan penyakit-penyakit genetik maupun kronis yang belum dapat disembuhkan, seperti kanker ataupun AIDS.[4] Penelitian di bidang pengembangan sel induk juga memungkinkan para penderita stroke ataupun penyakit lain yang mengakibatkan kehilangan atau kerusakan pada jaringan tubuh dapat sembuh seperti sediakala. Di bidang pangan, dengan menggunakan teknologi rekayasa genetika, kultur jaringan dan DNA rekombinan, dapat dihasilkan tanaman dengan sifat dan produk unggul karena mengandung zat gizi yang lebih jika dibandingkan tanaman biasa, serta juga lebih tahan terhadap hama maupun tekanan lingkungan. Penerapan bioteknologi di masa ini juga dapat dijumpai pada pelestarian lingkungan hidup dari polusi. Sebagai contoh, pada penguraian minyak bumi yang tertumpah ke laut oleh bakteri, dan penguraian zat-zat yang bersifat toksik (racun) di sungai atau laut dengan menggunakan bakteri jenis baru.
Pertanian secara tradisional merupakan bidang usaha yang bertujuan untuk menghasilkan kebutuhan hidup seperti makanan, serat, makanan ternak dan bahan – bahan baku untuk industri. Bidang usaha ini berciri utama penggunaan sumber daya alami seperti tumbuhan, tanah, air, faktor lingkungan dan dipadukan dengan penggunaan tenaga manusia dan ternak. Hal ini sedikit demi sedikit berubah ke arah bentuk usaha pertanian yang mempunyai ciri – ciri seperti pada bidang usaha industri. Perubahan terjadi berkat semakin banyaknya produk – produk ilmu dan teknologi yang masuk ke dalam bidang usaha pertanian dan memberikan pengaruh pada sistim produksi bahan makanan dan pertanian di seluruh dunia.
Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini produksi hasil pertanian telah meningkat secara luar biasa, tetapi persediaan pangan yang bergizi bagi penduduk dunia tidak pernah melebihi kebutuhan. Hal ini mendorong orang untuk memanfaatkan teknologi baru dalam program pemulian tanaman agar masalah pangan dan gizi yang timbul dapat diatasi. Bioteknologi adalah penerapan yang didasarkan kepada sistim kehidupan untuk mengembangkan proses dan produk komersial. Bioteknologi mencakup teknik DNA rekombinan, tranfer gen, manipulasi dan tranfer embrio, regenerasi tumbuhan, kultur sel, antibodi monoklonal dan rekayasa proses biologi. Dengan teknik ini, kita dapat memindahkan gagasan ke penerapan praktis. Misalnya kita telah berhasil mengubah secara genetis sifat tanaman budidaya tertentu untuk meningkatkan daya tahan terhadap hama dan penyakit tertentu. Bioteknologi mempunyai potensi untuk meningkatkan produksi tanaman budidaya, peternakan dan pegolahannya secara biologi. Bioteknologi menyediakan bagi para pakar suatu pendekatan baru untuk mengembangkan varietas – varietas baru dengan produksi yang lebih tinggi dan lebih bergizi, lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit, serta terhadap keadaan yang merugikan, atau mengurangi kebutuhan terhadap pupuk dan bahan – bahan kimia lainnnya.
Bioteknologi bukan sarana untuk mengubah tujuan pertanian sebagai penghasil bahan pangan, serat kayu dan produk lainnya, melainkan lebih tepat untuk meningkatkan produktifitas pertanian. Bioteknologi dibangun berlandaskan pengertian yang diturunkan dari pengetahuan dalam bidang biologi, genetika, fisiologi dan biokimia. Sepanjang sejarah perkembangan pertanian, manusia memanfaatkan proses alami pertukaran genetik melalui pemuliaan yang menciptakan variasi ciri biologi. Fakta ini melandasi semua upaya untuk memperbaikan varietas – varietas tanaman pertanian, baik melalui pemuliaan tradisional maupun melalui teknik biologi molekuler. Dalam kedua metode ini, manusia memanipulasi proses alam untuk menghasilkan berbagai varietas tanaman yang menunjukan sifat atau ciri khas yang diinginkan, seperti meningkatkan produksi, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, atau ternak dengan produksi daging yang tinggi dengan kadar lemak yang rendah.
Metoda biologi molekuler dapat menyederhanakan masalah ini dengan memanipulasi gen satu persatu. Tanpa bergantung pada terjadinya rekombinasi sejumlah besar gen, para ilmuwan dapat menyisipkan satu persatu gen untuk sifat spesifik secara langsung ke dalam genom yang telah terbentuk. Para ilmuwan dapat pula mengendalikan ekspresi gen dalam varietas tanaman baru. Transfer gen molekuler dapat memperpendek waktu yang diperlukan untuk mengembangkan varietas baru dan memberikan ketepatan yang lebih besar untuk sifat yang diinginkan. Selain itu juga dapat digunakan untuk mempertukarkan gen antara organisme yang tidak dapat disilangkan secara seksual.
Teknik transfer gen merupakan kunci berbagai penerapan bioteknologi. Inti dari rekayasa genetik adalah menentukan gen yang dapat mengekspresikan sifat tertentu, kemudian memisahkannya dan memasukkannya kedalam inang asli atau organisme lain. Teknik ini merupakan sarana yang digunakan untuk mengetahui sifat dan fungsi gen sebagai pengatur pertumbuhan dan pengembangan, pengaturan komunikasi antar sel dan antar organisme.

Pemuliaan Tanaman
Perkembangan dan kemajuan yang dicapai dalam bidang biologi molekuler telah melahirkan dan berkembangnya teknologi rekombinan DNA atau yang dikenal dengan sebutan rekayasa genetik . Rekayasa genetik atau rekombinan DNA adalah suatu kumpulan teknik - teknik eksperimental yang memungkinkan peneliti untuk mengisolasi, mengidentifiksi dan melipatgandaan suatu fragmen dari material genetik (DNA) dalam bentuk murninya. Manipulasi – manipulasi tersebut dilakukan secara in vitro dengan menggunakan material – material biologi
Penggunaan kultur jaringan untuk pembiakan klonal didasarkan pada anggapan bahwa jaringan secara genetik tetap stabil jika dipisahkan dari tumbuhan induk dan ditempatkan dalam kultur. Pendapat ini sebahagian besar berlaku jika tumbuhan dibiakkan dengan kuncup ketiak atau tunas liar yang secara langsung dipisahkan dari tanaman. Walaupun demikian, apabila tunas terbentuk dari jaringan kalus, sering terjadi penyimpangan (Chaleff, 1984).
Protoplas sel totipoten tanpa dinding sel dapat dihasilkan dengan mudah dan telah dirancang suatu metode untuk menumbuhkannya menjadi jaringan kalus dan dilanjutkan menjadi tanaman kecil yang dapat dikembangbiakan secara konvensional. Protoplas dapat dipisahkan dari jaringan tanaman, termasuk akar, daun, buah, serbuk sari, bintil akar kacangan, organ penyimpanan dan jaringan kalus. Jaringan daun sering digunakan karena hasil protoplas dari sumber ini cukup tinggi dan seragam. Protoplas sering menghasilkan jaringan kalus yang kemudian dari kalus ini diregenerasikan suatu tumbuhan yang lengkap. Sayangnya , keberhasilan metoda ini kecil peluangnya untuk tanaman kacang-kacangan dan padi – padian. Belakangan ini kemungkinan tanaman Medicago sativa (Alfafa) untuk beregenerasi dari protoplasma menjadi tumbuhan lengkap peluangnya cukup tinggi dalam kondisi pertumbuhan yang relatif sederhana. Hal ini memberi petunjuk penting bahwa usaha dibidang kacang-kacangan akan dapat berkembang lebih cepat. Sebegitu jauh kita masih belum mampu untuk mengembangkan tumbuhan dari jenis padi – padian dan kacang – kacangan melalui pertumbuhan protoplasma.


Manfaat penting dari protoplasma dalam pemuliaaan tanaman terletak pada beberapa sifatnya, yaitu : (1) protoplas dapat dihasilkan dan disaring untuk membentuk banyak variasi. Meskipun protoplas yang terbentuk secara genetik bersifat homogen, tetapi kalus yang merupakan keturunannya dapat menjadi tanaman yang menunjukan perbedaan sifat-sifat yang cukup besar , (2) tidak adanya dinding sel memudahkan fusi antara protoplas dan dengan demikian mengawali terjadinya pembastaran. Fakta bahwa fusi dapat terjadi antara sel somatik yang bersifat diploid yang memungkinkan pemulia tanaman merancang suatu teknik dengan baik, (3) tidak adanya dinding sel juga memudahkan penyerapan DNA, sebagai fragmen atau plasmid yang berasal dari bakteri, untuk menghasilkan tanaman dengan sifat-sifat yang baru sama sekali.
Meskipun tanaman yang diperbanyak secara vegetatif (klon) umumnya mirip induknya, tetapi tidak berarti, bahwa semua klon secara genetik bersifat serupa. Klon yang berbeda secara nyata dari induknya dapat terjadi, dan dikenal sebagai varian somatik dan merupakan hasil perubahan genetik pada sel merismatik yang menghasilkan semua atau sebagian tumbuhan baru. Dalam hal-hal tertentu varian somatik dapat menjadi varietas baru yang penting, misalnya pada jeruk manis. Beberapa mekanisme genetik dapat menyebabkan terjadinya variasi somatik, antara lain : perubahan jumlah kromosom dalam inti, mutasi gen tunggal, seperti kloroplas dan mitokondria. Meskipun fusi protoplas tumbuhan diketahui jarang terjadi, namun Power dan kawan – kawan tahun 1970, berhasil merancang suatu metode untuk mengendalikan fusi yang dapat diulang, dan dengan demikian menemukan langkah awal untuk pembastaran somatik pada tumbuhan. Suspensi protoplas dalam 0,25 mol/l larutan natrium nitrat dapat menginduksi fusi yang cepat. Larutan 10,2% sukrosa, 5,5% natrium nitrat dan kalsium klorida dapat digunakan untuk menginduksi fusi protoplas Parthenocissus tricuspidata dengan protoplas Petunia hibrida.
Tahap berikutnya adalah membangkitkan bastar somatik dengan teknik fusi protoplasma yaitu dengan : (1) isolasi protoplasma, fusi, pembentukan kembali dinding sel, fusi inti untuk mendapatkan inti bastar sejati, pertumbuhan sel bastar dalam kultur, dan akhirnya pembentukan tumbuhan secara lengkap.

Pada umumnya, fusi kloroplas tumbuhan mudah dicapai, meskipun tidak mudah untuk menumbuhkan sel bastar dengan memuaskan. Dari hal ini jelaslah bahwa protoplas bastar yang hanya sedikit terdapat dalam campuran sel perlu dipisahkan dan mendorong perkembangannya melalui prosedur seleksi. Sebagai contoh pembastaran somatik antara Petunia hybrida dengan Petunia parodii, yang prosedur seleksinya memanfaatkan adanya perbedaan kekuatan potensi pertumbuhan antara protoplas daun kedua jenis tumbuhan ini. Protoplas Petunia parodii paling tinggi hanya dapat membentuk kalus kecil yang terdiri dari lebih kurang lima puluh sel pada media, sedangkan protoplas Petunia hybrida terus menerus membentuk kalus. Sebaliknya dari kepekaannya terhadap aktinomisin D, Petunia hybrida lebih peka terhadap aktinomisin D dari protoplas Petunia parodi .
Inti campuran (heterokarion) yang terjadi pada fusi dua protoplas yang tidak sama dapat berkembang menjadi sel bastar dengan fusi inti. Dengan cara ini semua organel dari kedua protoplas pembawa gen yang dapat mengadakan seleksi sendiri, digabung, sedangkan pada persilangan seksual biasa, satu inti yang membawa gen kromosomal (karyom) yang berasal dari masing – masing induk, tetapi bisanya gen yang diwariskan melalui plastida (plastidom) dan gen yang diwariskan melalui mitokondria (kondriom) hanya berasal dari induk betina. Dengan demikian, teknik fusi protoplasma memberikan kesempatan untuk menghasilkan kombinasi dua genom induk yang lengkap.
Salah satu keuntungan utama yang diberikan oleh kultur untuk percobaan genetik dengan tumbuhan lebih tinggi adalah bahwa kultur sel itu memungkinkan seleksi langsung untuk memperoleh fenotipe baru dari sejumlah besar populasi sel yang ditumbuhkan pada kondisi tertentu dan dari segi fisiologis dan perkembangan bersifat seragam. Jutaan sel, masing – masing mempunyai potensi untuk menjadi tumbuhan dapat dikulturkan dalam satu cawan petri.
Berbagai metoda telah dikembangkan dan digunakan untuk membuat tanaman transgenik, termasuk diantaranya penggunaan plasmid Ti dengan Agrobacterium tumefaciens. Metoda lain yang juga telah dikembangkan adalah metoda gen transfer menggunakan kloroplas, mikroinjeksi DNA, elektroforasi, penembakkan dengan mikroproyektil (Uchimiya, 1989)
Agrobacterium tumefacien efektif digunakan sebagai sistim transfer gen tanaman dikotil, meskipun tidak semua tanaman dikotil menunjukkan respon yang sama terhadap sistim tranformasi ini. Kedelai misalnya termasuk spesies tanaman yang sulit direkayasa dengan Agrobacterium. Kekurangan yang mencolok dalam sistim ini adalah kesulitan dengan tanaman monokotil, terutama golongan serelia seperti : padi, jagung, gandum dan lain – lain yang tidak dapat ditransformasi dengan Agrobacterium (Wu, 1990).
Teknik – teknik gen transfer berkembang dengan cepat dan terus disempurnakan. Dalam beberapa tahun terakhir, gen transfer pada tanaman sudah merupakan kegiatan rutin yang dilakukan di beberapa laboratorium di dunia. metoda yang efisien dalam mengklon gen, teknik transformasi, regenerasi tanaman, ketersediaan konstruksi – konstruksi gen baru, sistim vektor yang terus dikembangkan, promotor yang spesifik untuk organ tertentu untuk ekspresi gen adalah faktor – faktor yang berperan dalam memproduksi tanaman transgenik.
Pada awalnya, gen yang banyak dipakai dalam transfer tanaman adalah gen – gen reporter yang fungsinya lebih banyak untuk uji pengembangan teknik transfer itu sendiri, atau mempelajari kemampuan sekuens pengendali dalam mengendalikan ekspresi suatu gen di dalam sel tanaman. Kemudian terus dikembangkan transfer klon gen yang mengendalikan karakter – karakter yang mempunyai nilai ekonomis sejalan dengan tersedianya klon gen tersebut. Karakter – karakter tersebut diantaranya adalah gen untuk ketahanan terhadap serangga, gen untuk ketahanan terhadap penyakit virus dan bakteri, gen ketahanan terhadap herbisida, toleransi terhadap salinitas, kekeringan dan peningkatan kualitas nutrisi.

Tabel 1.  Beberapa vektor kloning dan penggunaannya
Penggunaan
Vektor *)
1
2
3
4
5
6
Mengklon fragmen besar
Kontruksi pustaka genom
Konstruksi pustaka cDNA
Sub cloning rutin
Pembuatan konstruksi
Vektor ekspresi
Sekuensing
Probe utas tunggal
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
*)  1    = Plasmid prokariotik
2        = Bakterifage lamda
3        = Kosmid
4        = Filamentous fage
5        = Virus eukariot
6         = Plasmid eukariot

Program pemuliaan tanaman pertanian untuk ketahanan terhadap virus telah banyak dilakukan. Target dari sifat resistensi tersebut menurut Hull (1990) dapat dikelompokkan kedalam : (1) memberikan resistensi terhadap transmisi, (2) resistensi untuk pekembangan penyakit (pencegahan replikasi virus, penyebaran virus, dan lokalisasi infeksi dengan atau tanpa nekrosis)., (3) resistensi terhadap perkembangan gejala penyakit (toleran).
Perkembangan teknologi rekombinan DNA telah memberikan harapan baru dalam mengatasi masalah virus tanaman. Pada tahun 1985, Sanford dan Johston memperkenalkan suatu konsep baru penggunaan teknik rekayasa genetik dalam mengembangan resistensi terhadap mikroorganisme, dimana gen yang sudah dimodifikasi dari suatu patogen dapat memberikan resistensi tanaman dengan menganggu proses hidup patogen tersebut.
Sampai saat ini ada tiga bentuk resistensi non – konvensional terhadap virus yang telah dikembangkan yaitu : (1) penggunaan sekuens RNA satelit, Sekuens RNA antisens dan gen penyandi protein pembungkus virus. (virus coat protein gen – gen VCP).
Perkembangan teknologi rekombinan DNA juga memungkinkan dilakukannya manipulasi rekayasa genetik untuk mendapatkan tanaman yang toleran terhadap herbisida sehingga dapat meningkatkan keselamatan dan produksi tanaman. Menurut Oxtoby dan Hughes (1990), metoda untuk merekayasa resistensi tanaman terhadap herbisida dapat dibedakan ke dalam dua kelompok pendekatan yaitu : (1) merubah tingkat sensitifitas dari enzim yang merupakan target herbisida dalam tanaman yakni dengan memanfaatkan gen mutan yang timbul spontan dialam dan mengintroduksi gen tersebut kedalam genom kloroplast, (2) Mengintroduksi gen pengkode enzim yang dapat menetralisir (menghilangkan) sifat racun herbisida dalam tanaman seperti enzim oksidase, amilase dan decarboxylase.
Teknologi rekombinan DNA dapat juga digunakan untuk merakit tanaman yang resisten terhadap serangga hama yakni dengan memanfaatkan bakteri Bacillus thuringiensis yang merupakan jenis bakteri yang mampu menghasilkan suatu protein kristal yang bersifat racun terhadap serangga. Aktifitas bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis ini spesifik terhadap spesies serangga tertentu dan tidak toksik terhadap hewan (Spear, 1987). Lebih dari 3.000 isolat alami Bacillus thuringiensis yang diseleksi oleh Genetic System N.V. Belgium, hampir semuanya dilaporkan meracun terhadap larva berbagai Lepidoptera dan 5 larva Coleoptera (Dekeyser, 1991).
Gen penghasil toksin pada Bacillus thuringiensis di klon dan di tranfer ke tanaman budidaya yang banyak diusahakan. Menurut Dekeyser (1991) tanaman tembakau, tomat dan kentang transgenik yang mengandung gen toksin Bacillus thuringiensis memperlihatkan resistensi terhadap serangan serangga hama.

Pengendalian Biologi
Pengendalian biologi yang terjadi secara alami di alam yang dapat menekan perkembangan serangan penyakit tanaman jarang dapat dijelaskan bagaimana mekanisme pengendaliaanya. Kemajuan penelitian dibidang ini berjalan lambat, karena harus menunggu tersediannya pengetahuan dasar mengenai perilaku dan sifat populasi campuran di dalam tanah dan dipermukaan tanaman. Walaupun demikian, ada beberapa sistim pengendalian biologi yang telah dikembangkan dengan memanfaatkan bioteknologi.
Sifat antagonis jamur Trichoderma sp telah diteliti sejak lama. Inokulasi Trichoderma lignorum ke dalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang menyerang di pesemaian, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang dihasilkan jamur ini yang dapat diisolasi dari biakan yang ditumbuhan di dalam petri. Spesies lain dari jamur ini telah diketahui bersifat antagonistik atau parasitik terhadap jamur patogen tular tanah yang banyak menimbulkan kerugian pada tanaman pertanian Tahun 1972, Well dan kawan – kawan melaporkan bahwa dengan pemberian inokulum Trichoderma harzianum dengan perbandingan inokulum dengan tanah 1 : 10 v/v dapat mengendalikan penyakit busuk batang dan busuk akar yang disebabkan oleh jamur Sclerotium rolfsii. Pada tahun 1975, Backman, Rodrigues – Kabana mengembangkan penelitian tentang pemanfaatan inokulum jamur antagonis ini yang dicampurkan dengan tanah diatomae yang dilumuri larutan tetes (molase) 10 % untuk membantu pertumbuhan Trichoderma harzianum . Inokulum jamur ini ternyata dapat mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh Sclerotium rolfsii di lapangan dengan butiran tanah diatomae sebanyak 140 kg/ha sebagai inokulum, yang hasilnya sebanding dengan perlakuan yang menggunakan pestisida kimia (Sinner cit Hinggis,1985)
Jamur Trichoderma harzianum dapat mengendalikan penyakit layu semai pada kacang buncis dan kol pada kondisi rumah kaca, tetapi hasilnya belum mantap untuk skala lapangan. Jamur Trichoderma hamatum dilaporkan juga dapat menghambat serangan jamur Rhizoctonia solani dan Phytium sp yang menyerang persemaian tanaman kapri dan lobak.
Jamur Fomes annosus dari kelompok Basidiomycetes yang menyebabkan penyakit busuk pada inti kayu pada pohon jarum (Picea abies) dapat ditekan serangannya dengan menginokulasikan jamur antagonis Peniophora gigentea. Jamur antogonis ini dapat mengkolonisasi tunggul sehingga mencegah terjadinya pembusukan pada kayu inti.
Kelompok bakteri dari Genus Agrobacterium dan Pseudomonas banyak dimanfaatkan sebagai agen pengendalian biologi. Tidak semua spesies dari genus Agrobacterium merupakan bakteri patogen. Banyak strain yang diisolasi dari dalam tanah diketahui merupakan strain antagonis yang dapat menghambat pertumbuhan strain patogen. Kedua strain ini dapat diketahui apakah bersifat patogen atau antagonis dengan melakukan uji patogenisitas pada tanaman inang. Di dalam tanah di sekeliling perakaran tanaman yang sakit, perbandingan kedua strain ini sangat tinggi tetapi pada perakaran tanaman yang sehat perbandinganya rendah sekali (Skinner cit. Hinggins, 1985).
Bakteri Agrobacterium radiobacter strain K- 84 dapat menghasilkan senyawa antibiotik Agrosin 84 yang mampu menekan pertumbuhan bakteri patogen Agrobacterium tumefacient penyebab penyakit Crown Gall pada tanaman persik dan mawar. Strain K – 84 ini mengandung plasmid kecil yang menyandikan produksi agrosin dan plasmid besar yang menyandikan penggunaan nonpalin yang merupakan asam amino tipe opin yang hanya terdapat dalam jaringan Crown Gall. Dari percobaan laboratorium didapatkan bahwa bakteri patogen yang resisten terhadap agrosin ini dapat muncul karena adanya konjugasi antara strain – 84 dan strain patogen. Selama konjugasi, kedua plasmid dari strain – 84 berpindah secara bebas, sedangkan plasmid Ti pada patogen, pada sel penerima dapat muncul atau tidak. Dari enam kemungkinan transkonjugan, tiga mengandung plasmid Ti, dua mengandung plasmid kecil yang bersandikan produksi Agrosin – 84. Dengan cara manipulasi genetik dapat dikembangkan strain 84 yang tidak dapat melakukan konjugasi dengan patogen atau mengembangkan strain patogenik penghasil agrosin.

Tabel 1. Beberapa contoh agen hayati yang dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan penyakit tanaman (Wipps, 1977)
Agen hayati
Patogen sasaran
Penyakit/ Inang

Kelompok bakteri

Agrobacterium radiobacter

Bacillus subtilis

Pseudomonas cepacia

P. fluorescens

Ralstonia solanacearum
(strain avirulen)

Kelompok jamur

Trichoderma viridae
Trichoderma harzianum
Peniophora gigentea
F. oxysporum (non patogen)
Gliocladium virens
Phytium oligandrum
Agrobacterium tumefaciens
Rizoctonia solani, Phytium .sp, Fusarium spp
Fusarium spp, R.. solani

F. oxysporum

Ralstonia solanacearum strain virulen
Fusarium, spp; Phytium spp, R. solani
Fusarium, spp; Phytium spp, R. solani
Heterobasidon annosum

F. oxysporum f.sp. batatas

P. ultimum, R. solani

P. ultimum


Crown gall / Rose, Apel dan Pear
Rebah semai / Padi, Kapas dan Legum
Rebah semai / Kapas Jagung dan sayuran
Layu dan rebah semai / sayuran
Layu/ Tomat, kentang
Busuk akar/rebah semai, layu/ sayuran
Busuk akar/ layu/ sayuran
Busuk batang dan akar cemara
Layu fusarium/ubi jalar
Rebah semai/ sayuran
Rebah semai/ bet gula

Penambatan Nitrogen 

           Nitrogen adalah unsur yang diperlukan untuk membentuk senyawa penting di dalam sel, termasuk protein, DNA dan RNA.  Tanaman harus mengekstraksi kebutuhan nitrogennya dari dalam tanah.  Sumber nitrogen yang terdapat dalam tanah, makin lama makin tidak mencukupi kebutuhan tanaman, sehingga perlu diberikan  pupuk sintetik yang merupakan sumber nitrogen untuk mempertinggi produksi.  Keinginan menaikkan produksi tanaman untuk mencukupi kebutuhan pangan, berakibat diperlukannya pupuk dalam jumlah yang banyak.  Industri pupuk yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan pupuk yang semakin meningkat.  Untuk itu perlu dicari pupuk nitrogen alternatif dan rekayasa gen hijau kelihatannya dapat memberikan harapan untuk memenuhi kebutuhan pupuk di masa yang akan datang.
           Udara yang menyelubungi bumi mengandung gas nitrogen sebanyak 80 %, sebahagian besar dalam bentuk N2 yang tidak dapat dimanfaatkan.  Tanaman dan kebanyakan mikroba tidak mempunyai cara untuk mengikat nitrogen menjadi senyawa dalam selnya.  Tanaman dan mikroba umumnya mendapatkan nitrogen dari senyawa seperti ammonium (NH4+) dan nitrat (NO3-).  Untuk memanfaatkan nitrogen dalam bentuk gas, pakar bioteknologi memusatkan perhatiannya pada hubungan antara tanaman dengan jenis mikroba tertentu yang  dapat menambat nitrogen dari udara dan menyusun atom nitrogen kedalam molekul ammonium, nitrat, atau senyawa lain yang dapat digunakan oleh tumbuhan (Prentis, 1984).
Tanaman kacang-kacangan  seperti buncis, kedelai, akarnya mempunyai bintil – bintil berisi bakteri yang mampu menambat nitrogen udara, sehingga nitrogen tanah yang telah diserap tanaman dapat diganti.   Simbiosis antara tanaman dan bakteri saling menguntungkan untuk kedua pihak.  Bakteri mendapatkan zat hara yang kaya energi dari tanaman inang sedangkan tanaman inang mendapatkan senyawa nitrogen dari bakteri untuk melangsungkan kehidupannya. 
Bakteri penambat nitrogen yang terdapat didalam akar kacang-kacangan adalah jenis bakteri Rhizobium.  Bakteri ini  masuk melalui rambut-rambut akar dan menetap dalam akar tersebut dan membentuk bintil pada akar yang bersifat khas pada kacang – kacangan.  Belum diketahui sepenuhnya bagaimana rhizobium masuk melalui rambut – rambut akar, terus ke dalam badan akar dan selanjutnya membentuk bintil – bintil akar.

Tabel 3.   Beberapa spesies Rhizobium dan tanaman  simbiosanya
 Spesies Rhizobium
Tanaman  simbiosanya
R. leguminasorum
R. phaseoli
R. trifolii
R. melioti
R. lupini
R. japonicum
Rhizobium. spp
Pea (Pisum spp), lentil ( Lens culinaris)
Kacang buncis (Phaseolus vulgaris)
Clover ( Trifolium subteranim)
Alfafa (Medicago sativa)
Lupin (Lupinus, spp)
Kedelai ( Glycine max)
Cowpea (Vigna, spp), kacang tanah (Desmodium spp)



Untuk menambat nitrogen, bakteri ini menggunakan enzim nitrogenase, dimana enzim ini akan menambat gas nitrogen di udara dan merubahnya menjadi gas amoniak.  Gen yang mengatur proses penambatan ini adalah gen nif (Singkatan nitrogen – fixation).  Gen – gen nif ini berbentuk suatu rantai , tidak terpencar kedalam  sejumlah DNA yang sangat besar yang menyusun kromosom bakteri, tetapi semuanya terkelompok dalam suatu daerah.  Hal ini memudahkan untuk memotong bagian untaian DNA yang sesuai dari kromoson Rhizobium dan menyisipkanya ke dalam mikroorganisme lain (Prentis, 1984).  Dengan rekayasa genetik telah berhasil ditransfer gen nif dari bakteri Rhizobium kedalam  bakteri Escherechia coli , sehingga E. coli mampu untuk menambat nitrogen.  Dalam percobaan ini tidak menggunakan gen Rhizobium, tetapi gen nif yang berasal dari Klebsiella pneumoniae, yang merupakan bakteri tanah yang hidup bebas pada tanaman inang.  Bakteri ini mempunyai lebih kurang 17 gen nif dan gen nif ini dapat ditransfer ke bakteri lain.  Fenomena ini memberi harapan di masa yang akan datang untuk mentransfer gen – gen tadi  ke dalam gen bakteri yang terdapat diperakaran gandum dan padi-padian yang diketahui tidak dapat menambat nitrogen.
Suatu harapan yang menarik adalah usaha untuk menyisipkan gen nif secara langsung kedalam tanaman, tanpa melibatkan mikroba penambat nitrogen, seperti yang telah dilakukan pada gen insulin pada manusia kedalam bakteri E. coli. Dalam masalah ini telah dicapai kemajuan yang cukup besar dengan memanfaatkan vektor eukariotik, yaitu potongan yang dapat menjadi jembatan masuknya DNA asing ke dalam sel eukariotik, dalam hal ini adalah bakteri Agrobacterium tumefasiens penyebab crown gall yang mempunyai plasmid Ti (Tumor inducing plasmid) yang dapat merangsang sel inang untuk tumbuh secara luas biasa.
Penelitian terhadap Rhizobium yang berasosiasi dengan kedelai mengungkapkan bahwa banyak diantara bakteri ini yang mengandung gen hup (gen penyerap nitrogen).  Gen ini berfungsi untuk mendaur ulang gas nitrogen kembali ke sistim nitrogenase yang menambat nitrogen.  Jadi memanfaatkan energi pada hidrogen yang apabila tidak dimanfaatkan oleh tumbuhan, energi ini akan hilang.
Penggunaan  langsung hasil penelitian ini adalah dengan mengintroduksi gen hup kedalam strain Rhizobium yang tidak mempunyai gen ini.  Gen hup pada strain Rhizobium yang lain terdapat pada plasmida, apabila plasmida pembawa hup ini terdapat pada Rhizobium, maka plasmid pembawa gen ini dapat ditransfer dari satu strain ke strain lain.
Gen lain yang menjadi perhatian pakar rekayasa genetik  adalah gen osm, yang mempunyai kaitan dengan kemampuan  tumbuhan  untuk  menahan  tekanan - tekanan
(stres) dari lingkungannya, seperti : tidak adanya air, temperatur yang panas atau dingin, dan kadar garam di dalam tanah yang tinggi.  Semua faktor ini mengakibatkan air dalam sel tumbuhan dipaksa masuk atau keluar dengan proses osmosis.  Banyak lahan di seluruh dunia tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian karena adanya faktor pembatas seperti : suhu yang rendah, tidak tersedianya air dan kandungan garam yang tinggi.  Sasaran untuk masa yang akan datang adalah mengintroduksikan gen osm ke dalam tanaman budidaya dengan tujuan untuk membuka lahan tandus yang luas untuk pertanian (Prentis, 1984)
Tumbuhan yang nilai ekonominya yang rendah seperti gulma, sering memperlihatkan ketahanan terhadap faktor – faktor lingkungan yang tidak menguntungkan. 

Rhizobakteria

           Rhizobakteria merupakan kelompok bakteri yang hidup dan berkembang di daerah rizofer tanaman.  Kelompok rhizobakteria ini diketahui dapat merangsang pertumbuhan tanaman sehingga produksi tanaman dapat meningkat.  Hellriegel dan Wilfarth (1889) merupakan peneliti pertama yang melaporkan manfaat dari kelompok bakteri ini dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman kacang – kacangan, sejak saat itu berkembanglah penelitian – penelitian untuk mencari mikroorganisme yang dapat meningkatkan produksi tanaman
           Beberapa kelompok bakteri yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi tanaman adalah : (a) Rhizobium (bakteri penambat N2 yang bersimbiosis dengan kacang – kacangan, (b) Azotobakter, Azospirillum (bakteri penambat N2 yang tidak bersimbiosis dengan tanaman, (c) Bacillus subtilis, B. polymixa (bakteri penghasil senyawa yang dapat melarutkan fosfat tanah), (d) Clostridium dan (e) Pseudomonas fluorescens dan P. putia.
           Beberapa  keuntungan dengan memanfaatkan kelompok mikroorganisme ini adalah : (a) tidak mempunyai bahaya atau efek sampingan, (b) Efisiensi penggunaan  yang dapat ditingkatkan sehingga bahaya pencemaran lingkungan dapat dihindari, (c) harganya yang relatif murah, dan (d) Teknologinya yang sederhana.  Pemanfaatan kelompok mikroorganisme ini telah diterapkan di negara – negara maju dan beberapa negara berkembang.
           Potensi penggunaan rizobakteria sebagai inokulan telah banyak mendapat perhatian dari pakar mikrobiologi tanah dan penyakit tanaman, karena sifat dari rizobakteria ini sangat agresif dalam mengkolonisasi akar menggantikan tempat mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit pada tanaman. (Burr, 1978).  Hubungan antara tanaman dan mikroorganisme terjadi di daerah rizosfer,  mikroorganisme dapat hidup dari substrak yang dikeluarkan oleh tanaman melalui akar ataupun tanaman yang mati, disamping itu dapat juga merangsang pengeluaran unsur hara dari akar  (Vancura, 1964), dapat menghasilkan senyawa – senyawa yang mempercepat pertumbuhan (Bowen dan Rovira, 1961).

Mikoriza Vesikular – Arbuskular
           Mikoriza Vesikular – Arbuskular (MVA) merupakan asosiasi antara jamur tertentu dengan akar tanaman membentuk jalinan interaksi yang komplek. Peranan MVA dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman telah banyak dilaporkan dan dari hasil penelitian belakangan ini banyak laporan yang memuat aplikasi dan usaha produksi inokulan MVA yang diusahakan secara komersil.
Berdasarkan struktur dan cara jamur menginfeksi akar, mikoriza dapat dikelompokan menjadi Ektomikoriza (jamur yang menginfeksi tidak masuk ke dalam sel akar tanaman dan hanya berkembang diantara dinding sel jaringan korteks, akar yang terinfeksi membesar dan bercabang), Endomikoriza (Jamur yang menginfeksi masuk ke dalam jaringan sel korteks dan akar yang  terinfeksi tidak membesar). 
           Peranan penting MVA  dalam pertumbuhan tanaman adalah kemampuannya untuk menyerap unsur hara baik makro maupun mikro.  Selain itu akar yang mempunyai mikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman.   Hifa eksternal pada mikoriza dapat menyerap unsur fosfat dari dalam tanah, dan segera diubah menjadi senyawa polifosfat.  Senyawa polifosfat kemudian dipindahkan ke dalam hifa dan dipecah menjadi fosfat organik yang dapat diserap oleh sel tanaman.  Efisiensi pemupukan P sangat jelas meningkat dengan penggunaan mikoriza.  Hasil penelitian Mosse (1981) menunjukkan bahwa tanpa pemupukan TSP, produksi singkong pada tanaman yang tidak bermikoriza kurang dari 2 gr, sedangkan pada tanaman bermikoriza  hampir 4 gr (Tabel. 4).
           Tanaman yang mempunyai mikoriza cenderung lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang tidak mempunyai mikoriza.  Rusaknya jaringan kortek akibat kekeringan dan matinya akar tidak permanen pengaruhnya pada akar yang bermikoriza.  Setelah priode kekurangan air, akar yang bermikoriza akan cepat kembali normal.  Hal ini disebabkan karena hifa jamur mampu menyerap air yang ada pada poripori tanah saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air.  Penyerapan hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil akan meningkat.
           Akar tanaman yang terbungkus oleh mikoriza akan menyebabkan akar tersebut terhindar dari serangan hama dan penyakit.  Infeksi patogen akar akan terhambat, disamping itu mikoriza akan menggunakan semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi pertumbuhan patogen. Dipihak lain, jamur mikoriza ada yang dapat melepaskan antibiotik yang dapat mematikan patogen.  Mikoriza dapat mengurangi perkembangan penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Phytopthora cinamomi dan dapat juga menekan serangan nematoda bengkak akar (Max, 1982).  Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jamur mikoriza dapat menghasilkan hormon seperti sitokinin,  giberalin dan vitamin.

Teknologi Kompos Bioaktif
Salah satu masalah yang sering ditemui ketika menerapkan pertanian organik adalah kandungan bahan organik dan status hara tanah yang rendah. Petani organik mengatasi masalah tersebut dengan memberikan pupuk hijau atau pupuk kandang. Kedua jenis pupuk itu adalah limbah organik yang telah mengalami penghacuran sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Limbah organik seperti sisa-sisa tanaman dan kotoran binatang ternak tidak bisa langsung diberikan ke tanaman. Limbah organik harus dihancurkan/dikomposkan terlebih dahulu oleh mikroba tanah menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Proses pengkomposan alami memakan waktu yang sangat lama, berkisar antara enam bulan hingga setahun sampai bahan organik tersebut benar-benar tersedia bagi tanaman.
Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan mikroba penghancur (dekomposer) yang berkemampuan tinggi. Penggunaan mikroba dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi beberapa minggu saja. Di pasaran saat ini banyak tersedia produk-produk biodekomposer untuk mempercepat proses pengomposan, misalnya: SuperDec, OrgaDec, EM4, EM Lestari, Starbio, Degra Simba, Stardec, dan lain-lain.
Kompos bioaktif adalah kompos yang diproduksi dengan bantuan mikroba lignoselulolitik unggul yang tetap bertahan di dalam kompos dan berperan sebagai agensia hayati pengendali penyakit tanaman. SuperDec dan OrgaDec, biodekomposer yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), dikembangkan berdasarkan filosofi tersebut. Mikroba biodekomposer unggul yang digunakan adalah Trichoderma pseudokoningii , Cytopaga sp, dan fungi pelapuk putih. Mikroba tersebut mampu mempercepat proses pengomposan menjadi sekitar 2-3 minggu. Mikroba akan tetap hidup dan aktif di dalam kompos. Ketika kompos tersebut diberikan ke tanah, mikroba akan berperan untuk mengendalikan organisme patogen penyebab penyakit tanaman.

Biofertilizer
Petani organik sangat menghindari pemakaian pupuk kimia. Untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman, petani organik mengandalkan kompos sebagai sumber utama nutrisi tanaman. Sayangnya kandungan hara kompos rendah. Kompos matang kandungan haranya kurang lebih : 1.69% N, 0.34% P2O5, dan 2.81% K. Dengan kata lain 100 kg kompos setara dengan 1.69 kg Urea, 0.34 kg SP 36, dan 2.18 kg KCl. Misalnya untuk memupuk padi yang kebutuhan haranya 200 kg Urea/ha, 75 kg SP 36/ha dan 37.5 kg KCl/ha, maka membutuhkan sebanyak 22 ton kompos/ha. Jumlah kompos yang demikian besar ini memerlukan banyak tenaga kerja dan berimplikasi pada naiknya biaya produksi.
Mikroba-mikroba tanah banyak yang berperan di dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting tanaman, yaitu Nitrogen (N), fosfat (P), dan kalium (K) seluruhnya melibatkan aktivitas mikroba. Hara N tersedia melimpah di udara. Kurang lebih 74% kandungan udara adalah N. Namun, N udara tidak dapat langsung dimanfaatkan tanaman. N harus ditambat oleh mikroba dan diubah bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas. Mikroba penambat N simbiotik antara lain : Rhizobium sp yang hidup di dalam bintil akar tanaman kacang-kacangan ( leguminose ). Mikroba penambat N non-simbiotik misalnya: Azospirillum sp dan Azotobacter sp. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa digunakan untuk tanaman leguminose saja, sedangkan mikroba penambat N non-simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman.
Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Tanah pertanian kita umumnya memiliki kandungan P cukup tinggi (jenuh). Namun, hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada mineral liat tanah. Di sinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Pseudomonas sp dan Bacillus megatherium. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K.
Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah Mikoriza yang bersimbiosis pada akar tanaman. Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza dan endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan hara P oleh tanaman. Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering dimanfaatkan adalah Glomus sp dan Gigaspora sp.
Beberapa mikroba tanah mampu menghasilkan hormon tanaman yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Hormon yang dihasilkan oleh mikroba akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat atau lebih besar. Kelompok mikroba yang mampu menghasilkan hormon tanaman, antara lain: Pseudomonas sp dan Azotobacter sp. Mikroba-mikroba bermanfaat tersebut diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan digunakan sebagai biofertilizer. Hasil penelitian yang dilakukan oleh BPBPI mendapatkan bahwa biofertilizer setidaknya dapat mensuplai lebih dari setengah kebutuhan hara tanaman. Biofertilizer yang tersedia di pasaran antara lain: Emas, Rhiphosant, Kamizae, OST dan Simbionriza


Jenis-jenis Mikroorganisme yang Dimanfaatkan untuk Meningkatkan Produk Pangan

No.
Bahan Pangan
Mikroorganisme
Golongan
Produk
1
Susu
Lactobacillus bulgaricus
Streptococcus termophillus
Streptococcus lactis
Panicillium requiforti
Propioni bacterium
Lactobacillus casei
Bakteri
Bakteri
Bakteri
Jamur
Bakteri
Bakteri
Yoghurt
Yoghurt
Mentega
Keju
Keju Swiss
Susu asam
2
Kedelai
Rhizopus oligosporus
Rhizopus stoloniferus
Rhizopus oryzae
Aspergillus oryzae
Jamur
Jamur
Jamur
Jamur
Tempe
Tempe
Tempe
Kecap
3
Kacang tanah
Neurospora sitophyla
Jamur
Oncom
4
Beras
Saccharomyces cereviseae
Endomycopsis fibulegera
Jamur
Jamur
Tape Ketan
5
Singkong
Saccharomyces elipsoides
Endomycopsis fibulegera
Jamur
Jamur
Tape singkong
6
Air kelapa
Acetobacter xylinum
Bakteri
Nata de coco
7
Tepung gandum
Saccharomyces elipsoides
Jamur
Roti
8
Kubis
Enterobacter sp.
Bakteri
Asinan
9
Padi-padian atau umbi-umbian
Saccharomyces cereviseae
Saccharomyces caelsbergensis
Jamur
Minuman beralkohol
10
Mikroorganisme
Spirulina
Chlorella
Alga bersel satu
Protein sel tunggal





Daftar Pustaka
http://www.ipard.com/art_perkebun/feb21-05_isr-I.asp